METROSULTRA.COM | TAWAMBELE, PENDEKAR TAK BERNAMA. Ia tidak tenar sama sekali. Kisahnya larut seiring melapuknya sebatang pohon yang ditebangnya ratusan tahun silam. Ia tebang pohon itu dalam satu tebasan. Nama pohon yang berdiameter sekira 50-100 centimeter itu tak jelas, meskipun jenis kayunya masuk golongan kelas dua.
Tawambele, nama itu yang melekat bagi warga local. Ia sangat sakti. Tebasannya itu diperlihatkan untuk membuktikan kesaktiannya menghadapi Mardiadinda dan gerombolannya. Mardiadinda ada salah seorang pimpinan gerombolan bajak laut Tobelo yang diduga memiliki kesaktian mumpuni dimasanya.
Kisahnya bermula saat fajar menyinsing dan langit nampak memerah di ujung timur Pulau Kabaena. Bagi masyarakat adat kabaena, percaya bahwa langit memerah merupakan pertanda akan terjadi kemalangan di negeri itu. Kepercayaan itulah yang memperkuat hati Tawambele untuk segera menadakan pertemuan dengan para pendekarnya.
Pagi itu, dipertengahan abad ke 19 atau sekitar tahun 1850-an, semua pendekar (Pandegara) Kabaena berkumpul. Areal pertemuannya di puncak Balao (Eemokolo) di dalam Benteng Olo E’e day Carambau. Pertemuan itu membahas strategi menghadapi ancaman perompakan bajak laut tobelo yang sudah sangat meresahkan masyarakat.
Usai pertemuan masing-masing mengambil peran. H. Abdullah (Mbue Budu) yang diserahi jabatan Kapitalao (Panglima Perang di wilayah Pesisir)- (makamnya telah digusur oleh pihak PT. SSU dan tidak diakui) adalah salah seorang peserta dari pertemuan itu. Ia ditugaskan memimpin massanya dan mengawasi teritori di kawasan Malandahi, Lampangi hingga yang dikenal Pulau Motaha saat ini.
Mbue Budu juga dikenal oleh ethnis Bugis dan Bajo di Pulau Baliara dan sekitarnya dengan nama H. Kaha. Untuk melaksanakan tugasnya lebih efektif, maka ia memilih lebih banyak tinggal di pulau yang terletak di bagian barat Kabaena. Hingga suatu hari dari kejauhan ia dan pasukannya melihat sebuah perahu.
Perahu itu diyakini dikayuh dan ditumpangi oleh gerombolan bajak laut. Maka bersegeralah ia (Mbue Budu) memancing perhatian para perompak. Disebutkan bahwa peristiwa itu berlangsung menjelang sore hari. Merujuk pada laporan angkatan Laut Belanda, perahu yang ditumpangi gerombolan itu cukup besar yaitu memuat 60 orang yang dilengkapi senjata api serta meriam.
Pertempuran pun tak terelakkan hingga pasukan Mbue Budu berhasil membantai puluhan awak gerombolan bajak laut itu. Simbahan darah yang beriring sang mentari telah memerah di ufuk barat maka tersebutlah pulau itu dengan nama Pulo Motaha yang secara kebahasaan diartikan sebagai Pulau Merah. Bersambung
Penulis: Jumrad Raunde